···
YOUR CART
Place Your Order

feature   >   news


Survey menyoroti pandangan siswa internasional tentang Kembali belajar ke luar negeri

Posted by Sabastian Anugraha / 0 Comments

Tidak memiliki waktu untuk membaca? Berikut ulasannya:

  • Mayoritas responden dalam survey ini menunjukkan bahwa siswa internasional baru merasa lega untuk Kembali belajar lagi di luar negeri pada tahun ini, baik itu secara daring atau tatap muka.
  • Akan tetapi, kebanyakan dari mereka pun sedang mencari insentif finansial dari institusi tempat mereka mengambil studi, khususnya saat COVID memaksa program-program belajar menjadi daring.

Sebuah hasil survey yang baru dirilis mengumpulkan respon dari hampir 15.000 siswa dan calon siswa internasional untuk mengeksplor perspektif siswa tentang kembali studi di luar negeri tahun ini. Respon-respon dari Studying abroad again: How do current and prospective international students feel about the return of studying overseas? diambil pada bulan Januari hingga Juni 2021 dari para siswa dan calon siswa internasional di seluruh dunia.

Tidak mengherankan bahwa para siswa yang berpartisipasi dalam survey ini lebih memilihi pembelajaran tatap muka (61%), dan hanya 17% saja yang memilih pembelajaran daring (23% sisanya tidak memberi preferensinya). Namun dari siswa yang telah memulai atau melanjutkan studi mereka tahun ini, lebih dari setengahnya (55%) menyatakan bahwa universitas mereka sebenarnya telah sangat efektif memberikan pengajaran berbasis daring.

Sama halnya bahwa siswa juga menyatakan bahwa perubahan ke pembelajaran daring merupakan cara yang paling sering diaplikasikan oleh instansi Pendidikan dalam membatasi penyebaran COVID-19. Seperti yang bagan dibawah ini sampaikan, perubahan ke pembelajaran daring telah disarankan oleh banyak pengukuran kesehatan public dan bagian kemahasiswaan (atau kesiswaan) di banyak instintusi.

(Gambar Figur 1)

Yang manakah kebijakan diatas yang universitasmu lakukan untuk membatasi penyebaran virus corona di kampus? Sumber: QS

Survey ini juga mempertimbangkan hingga dimana siswa ditawarkan insentif oleh institusi mereka untuk kembali menlanjutkan studi mereka tahun ini. Jawaban singkatnya adalah “tidak”, sebanyak sepertiga responden menyatakan bahwa mereka tidak ditawarkan potongan biaya studi atau insentif finansial dalam bentuk apapun. Sedikit sekali siswa yang menjelaskan bahwa mereka menerima bantuan dana, potongan biaya kuliah dan bantuan dalam biaya karantina dari institusi mereka.

Apakah universitasmu menawarkan insentif yang disebutkan untuk mendorong kamu studi di luar negeri? Sumber: QS

Menariknya Ketika ditanya Tindakan apa yang membuat mereka berbeda dalam hal memberikan insentif lebih lanjut untuk belajar di luar negeri, sebanyak 49% siswa menyebutkan bahwa beasiswa merupakan pilihan yang paling menarik untuk ditawarkan universitas mereka dan 36% lainnya menganggap bahwa potongan biaya kuliah lah yang paling menarik. Dalam analisis temuannya, QS membuat poin terkait bahwa, “Sementara beberapa insentif keuangan dipandang sebagai Langkah untuk mendorong kembalinya studi internasional, banyak siswa melihat hal tersebut sebgaia penggantian yang diperlukan, mengingat fakta bahwa pengalaman studi di pendidikan tinggi mereka yang sekarang atau nanti akan menjadi jauh dari pengalaman khas dari pengalaman studi di Pendidikan tinggi yang banyak dari mereka telah punya sebelumnya.” Para siswa juga sama tegasnya dalam pandangan mereka tentang potongan biaya untuk pembelajaran bersifat daring, dengan 81% mengatakan bahwa mereka percaya bahwa biaya kuliah harus disesuaikan dimana program terpaksa dialihkan secara daring karena COVID.

Pertanyaan penting tentang kesetaraan vaksin

Terakhir, survey tersebut mengukur opini siswa tentang dampak vaksin COVID. Sekitar 1 dari lima (21%) mengatakan bahwa pengenalan vaksin telah mendorong mereka untuk memulai studi mereka lebih awal daripada yang seharusnya. Tetapi yang mengejutkan adalah 42% mengatakan bahwa ketersediaan vaksin tidak diperhitungkan dalam rencana studi mereka. “Mungkin ada beberapa alasan untuk ini,” tambah QS, “termasuk fakta bahwa di beberapa negara, kaum muda mungkin masih harus menunggu dalam waktu yang lama hingga mereka dipanggil untuk vaksinasi, atau mungkin tidak memiliki akses sama sekali.”

Temuan ini menunjukkan masalah mendasar yang signifikan untuk setiap bisnis internasional tahun ini, yakni ekuitas vaksin. Laporan lain yang keluar baru-baru ini dari World Tourism Organization milik PBB pun menemukan bahwa “pariwisata internasional dan sector-sektor yang terkait erat” mengalami kerugian sekitar US$ 2,4 triliun dalam tahun 2020. Laporan tersebut memperingatkan bahwa kerugian serupa juga dapat terjadi pada tahun 2021, yang sebagian besar tergantung pada ketersediaan dan penyerapan vaksin COVID di masyarakat.

“Tingkat vaksinasi COVID-19 tidak merata di seluruh negara, mulai dari di bawah 1% populasi di beberapa negara hingga diatas 60% di negara lain,” tambah World Tourism Organization milik PBB. “Peluncuran vaksin asimetris memperbesar pukulan ekonomi yang diderita pariwisata di negara-negara berkembang, karena mereka dapat menyebabkan hingga 60% dari kerugian GDP global.”

Sisi lain dari koin itu adalah pariwisata internasional diharapkan pulih lebih cepat di negara-negara dimana tingkat vaksinasinya lebih tinggi, seperti Prancis, Jerman, Inggris dan Amerika Serikat.

Pola global disparitas yang luas dalam ketersediaan vaksin dari satu negara ke negara lain merupakan catatan peringatan penting sehubungan dengan waktu dan skala pemulihan dalam mobilitas internasional. Dan tampaknya juga menginformasikan pandangan dan harapan yang beragam yang dimiliki siswa internasional tentang vaksin tahun ini.

 

Sumber

BestPartner

Best Partner is Education Consultant with best solution and support

PLEASE CONTACT
US AT
0895-3227-49819
PLEASE CONTACT US AT
0895-3227-49819